Tiga minggu yang lalu aku cukup khawatir apakah aku akan bisa marathon bioskop atau tidak, karena ada beberapa film yang sangat ingin kutonton salah satunya film ini. Karena pada saat kabarnya film ini akan tayang mulai dari 3 Mei 2017 aku juga mendapat kabar bahwa aku harus keluar kota. Disaat itu juga aku langsung melihat Channel BBM, Newsfeed Facebook dan aplikasi CGV serta BookMyShow di teleponku untuk memastikan film ini tayang dimana saja. Dan untungnya film ini tayang di seluruh di Indonesia termasuk kota dimana aku harus kunjungi saat itu. Tapi aku kembali was-was apakah aku tinggal didekat bioskop atau tidak, untungnya aku tinggal di dalam kota. Meski begitu aku dengan mudahnya khawatir kembali untuk mengatur jadwalku dan pihak CGV Blitzmegaplex hanya meng-update jadwal tayang bioskopnya di pagi hari (menjelang siang) saja. Tak ada kepastian akan tayang di daerah mana saja dan jam berapa saja tayangnya. Yang pasti dari aplikasi hanya bisa ditekan hingga tanggal 9 Mei 2017 namun jadwal tayangnya hanya muncul di tanggal hari itu saja.
Pada 4 Mei 2017, aku menyempatkan untuk nonton ini di jam terakhir, 22:05 aku juga tidak sempat untuk marathon atau mengejar film lainnya seperti The Boss Baby, Guardian of the Galaxy Vol 2 dan menonton ulang My Neighbor Totoro di layar tancap. Tapi daripada tidak bisa menonton anime, yang jadwalnya tidak pasti dan anime agak langka tayang di Indonesia lebih baik mengorbankan ketiga film tersebut. Ralat, sebenarnya tahun ini sudah banyak sekali anime yang tayang di Indonesia seperti bulan lalu Spirited Away yang memperingati 15 tahun juga, Sword Art Online The Movie: Ordinal Scale dan KanColle Movie lalu bulan ini ada Kuroko's Basketball Last Game dan apalagi CGV Megablitz sedang mengadakan Anime Week tanggal 19 — 25 Mei 2017 hanya dengan Rp20.000.
Jujur saja, ekspektasiku untuk A Silent Voice The Movie (聲の形; Koe no Katachi) tidaklah tinggi untuk anime ini. Hal didasari oleh serialisasi manga-nya yang mengecewakan untukku, dan film ini dipegang oleh Kyoto Animation yang belakangan ini agak lesu dan tidak bisa memuaskan diriku. Disini Reiko Yoshida yang sudah berpengalaman jauh (●REC, Bakuman., The Cat Returns, Deltora Quest, Genshiken, Romeo × Juliet, Kyoro-chan, Tamako Love Story) menangani menulis script dan Naoko Yamada mengarahkan dan mengontrol anime ini sebagai Sutradara (Hibike! Euphonium series, K-ON! series dan Tamako Love Story).
Cuplikan Film
Cerita dimulai dengan Shouya Ishida yang merobek kalendernya dan berhenti kerja sampingannya. Dengan bekerja selama ini dan menjual semua barang pribadinya ia hendak untuk membayar 'hutang' kepada ibunya. Lalu dilanjutkan dengan cuplikan film ke masa lalu kehidupan Shouya kecil dengan lagu My Generation yang dibawakan oleh The Who. Shouya awalnya tak tertarik sama sekali dengan kepindahan Shoko Nishiyama ke sekolahnya. "Mengapa gadis ini diam saja daritadi," Ia berpikir demikian sambil menatap Shoko. Begitu mengetahui bahwa Shoko ini tuli seakan-akan di otaknya ada suatu tombol yang telah diaktifkan.
Dengan segala keterbatasan yang dimiliki Shoko, lama-kelamaan sekelas kerepotan karenanya dan tidak sanggup lagi untuk menanggapinya. Hal tersebut makin mendorong Shouya untuk mem-bully Shoko. Sedihnya kelakuan Shoya sudah terlalu jauh hingga akhirnya kepala sekolah dan wali kelas turun tangan secara langsung. Pembullyan yang dipimpin oleh Shouya kini telah berbalik arah, sekelas mulai membalas dendam dan membully Shouya, meski mereka sebelumnya juga pernah ikut-ikutan membully Shoko. Atas kejadian yang terjadi ini orangtua Shoko kembali memindahkan putrinya ke sekolah lain. Karena kejadian itu juga Shouya sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Shouya yang berusia remaja hendak mencoba untuk menembus dosanya dengan membayar 'hutang' ke ibunya dan mengajak berteman dengan Shoko. Walau hal ini takkan pernah cukup untuk menghapus dosa-dosanya saat ia masih kanak-anak dahulu.
Lembaran Photo
Saat pertama kali mendengar suara Maria, keponakan Shouya yang nampak selalu ceria ini aku mengira seiyuu-nya bekas dari Barakamon atau Amaama to Inazuma. Soalnya suaranya sama-sama terdengan menggemaskan dan sangat kanak-kanak sekali. Maafkan aku Erena Kamata yang sudah mengira pada Kotoishi Naru (dari Barakamon) dan Inuzuka Tsumugi (dari Amaama to Inazuma).
Lalu ketika memperhatikan pembukaan aku selalu memikirkan movienya akan seperti apa. Apakah akan dari manga yang 7 jilid dirangkum dalam kurun waktu 2 jam atau berdasarkan dari one-shot lalu diperpanjang sedemikian rupa. Tapi pilihan kedua nampaknya sangat mustahil dari berbagai pandangan. Jadi aku terus memikirkan bagaimana mereka membuatnya menjadi durasi sebuah movie. Saat awal-awal movie kita akan melihat masa lalu Shouya yang menjadi garis besar dalam jilid satu. Mereka dengan cerdasnya mampu merangkum jilid-jilid awal manga sedemikian rupa sehingga terbentuk belasan menit di movienya yang bisa dinikmati oleh penonton yang tidak/belum membaca serialisasi maupun yang sudah. Setengah jam pertama kita diajak melihat masa lalu hubungan Shouya-Shoko dengan cara seperti melihat lembaran-lembaran foto. Walau sudah dirangkum seepik rupa mereka tetap tak mugkin luput dari kecacatan. Buruknya lagi bagi yang membaca serialisasinya pasti tahu dan jujur saja aku merasa gregeta ketika mereka harus mengorbankan scene-scene yang kena banget di hati, misalnya saja saat Shoko marah ke Yuzuru Nishimiya, adiknya.
Aku awalnya juga cukup kecewa dengan pengisian Saori Hayami sebagai Shoko. Harusnya ia bisa bermain lebih buruk lagi tpai di awal-awal ia bersuara tidak seperti orang tuli, malah suaranya cute. Ku teringat guyonan temanku,"Untuk apa pakai Hayamin, hanya buang-buang uang saja (untuk mengisi tokoh tidak bersuara)" tapi ketika menonton ternyata Shoko cukup aktif bersuara toh. Kedua, yang aku sempat kecewakan juga adalah Naoka Ueno yang cantik malah digambar terlalu cute, bahkan semua tokoh perempuan digambar menjadi cute.
Rencana Bunuh Diri
Di manga-nya kita akan diberi suguhan untuk mendapatkan cerita masing-masing per tokoh. Tapi cerita ini juga hanya cerita sampingan (yang cukup) singkat. Karena sebenarnya di manga-nya terlalu memfokuskan diri pada hubungan Shouya dan Shoko juga permasalahan yang dibuat dan dihadapi oleh Shoya. Di movie-nya ini mereka mengambil langkah tepat dengan mengutamakan motif cerita pada penyesalan terbesar yang dipendam oleh Shouya. Tanpa harus memperdalam kisah tiap tokoh, movie-nya mampu menyampaikan hubungan Shouya dan Shoko dengan epic. Bahkan hatiku lumayan berdebar ketika melihat scene tearjerking di movie ini (ketika di komiknya aku merasa biasa saja saat membacanya).
Movie Koe no Katachi jauh melampaui dari ekspektasiku, aku benar-benar tersentuh ketika menontonnya. Ending-nya juga mengambil langkah berbeda dari manga-nya. Namun ending-nya juga meh dan cukup hampa untuk beberapa orang. Padahal aku suka bagaimana akhirnya Shouya bisa membuka matanya dan bagiku itu sudah cukup. Aku terpuaskan di movie ini sebab harapan terbesarku dikabulkan, yaitu, Shouya berteriak meminta maaf pada Shoko. Selain itu movie-nya lebih mengungguli dibanding serialisasi komik dengan alasan yang sangat jelas: cerita tidak bertele-tele. Ya, dengan ini kukatakan bahwa Koe no Katachi adalah salah satu dari sedikit anime/karya yang jauh lebih baik daripada bentuk orisinilnya sendiri.
Btw kemarin aku lupa menyertakan link interview pembuatan Koe no Katachi, silahkan kamu bisa membacanya disini dan disini.
Read more ... → A Silent Voice The Movie
Pada 4 Mei 2017, aku menyempatkan untuk nonton ini di jam terakhir, 22:05 aku juga tidak sempat untuk marathon atau mengejar film lainnya seperti The Boss Baby, Guardian of the Galaxy Vol 2 dan menonton ulang My Neighbor Totoro di layar tancap. Tapi daripada tidak bisa menonton anime, yang jadwalnya tidak pasti dan anime agak langka tayang di Indonesia lebih baik mengorbankan ketiga film tersebut. Ralat, sebenarnya tahun ini sudah banyak sekali anime yang tayang di Indonesia seperti bulan lalu Spirited Away yang memperingati 15 tahun juga, Sword Art Online The Movie: Ordinal Scale dan KanColle Movie lalu bulan ini ada Kuroko's Basketball Last Game dan apalagi CGV Megablitz sedang mengadakan Anime Week tanggal 19 — 25 Mei 2017 hanya dengan Rp20.000.
Jujur saja, ekspektasiku untuk A Silent Voice The Movie (聲の形; Koe no Katachi) tidaklah tinggi untuk anime ini. Hal didasari oleh serialisasi manga-nya yang mengecewakan untukku, dan film ini dipegang oleh Kyoto Animation yang belakangan ini agak lesu dan tidak bisa memuaskan diriku. Disini Reiko Yoshida yang sudah berpengalaman jauh (●REC, Bakuman., The Cat Returns, Deltora Quest, Genshiken, Romeo × Juliet, Kyoro-chan, Tamako Love Story) menangani menulis script dan Naoko Yamada mengarahkan dan mengontrol anime ini sebagai Sutradara (Hibike! Euphonium series, K-ON! series dan Tamako Love Story).
Cuplikan Film
Cerita dimulai dengan Shouya Ishida yang merobek kalendernya dan berhenti kerja sampingannya. Dengan bekerja selama ini dan menjual semua barang pribadinya ia hendak untuk membayar 'hutang' kepada ibunya. Lalu dilanjutkan dengan cuplikan film ke masa lalu kehidupan Shouya kecil dengan lagu My Generation yang dibawakan oleh The Who. Shouya awalnya tak tertarik sama sekali dengan kepindahan Shoko Nishiyama ke sekolahnya. "Mengapa gadis ini diam saja daritadi," Ia berpikir demikian sambil menatap Shoko. Begitu mengetahui bahwa Shoko ini tuli seakan-akan di otaknya ada suatu tombol yang telah diaktifkan.
Dengan segala keterbatasan yang dimiliki Shoko, lama-kelamaan sekelas kerepotan karenanya dan tidak sanggup lagi untuk menanggapinya. Hal tersebut makin mendorong Shouya untuk mem-bully Shoko. Sedihnya kelakuan Shoya sudah terlalu jauh hingga akhirnya kepala sekolah dan wali kelas turun tangan secara langsung. Pembullyan yang dipimpin oleh Shouya kini telah berbalik arah, sekelas mulai membalas dendam dan membully Shouya, meski mereka sebelumnya juga pernah ikut-ikutan membully Shoko. Atas kejadian yang terjadi ini orangtua Shoko kembali memindahkan putrinya ke sekolah lain. Karena kejadian itu juga Shouya sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Shouya yang berusia remaja hendak mencoba untuk menembus dosanya dengan membayar 'hutang' ke ibunya dan mengajak berteman dengan Shoko. Walau hal ini takkan pernah cukup untuk menghapus dosa-dosanya saat ia masih kanak-anak dahulu.
Lembaran Photo
Saat pertama kali mendengar suara Maria, keponakan Shouya yang nampak selalu ceria ini aku mengira seiyuu-nya bekas dari Barakamon atau Amaama to Inazuma. Soalnya suaranya sama-sama terdengan menggemaskan dan sangat kanak-kanak sekali. Maafkan aku Erena Kamata yang sudah mengira pada Kotoishi Naru (dari Barakamon) dan Inuzuka Tsumugi (dari Amaama to Inazuma).
Lalu ketika memperhatikan pembukaan aku selalu memikirkan movienya akan seperti apa. Apakah akan dari manga yang 7 jilid dirangkum dalam kurun waktu 2 jam atau berdasarkan dari one-shot lalu diperpanjang sedemikian rupa. Tapi pilihan kedua nampaknya sangat mustahil dari berbagai pandangan. Jadi aku terus memikirkan bagaimana mereka membuatnya menjadi durasi sebuah movie. Saat awal-awal movie kita akan melihat masa lalu Shouya yang menjadi garis besar dalam jilid satu. Mereka dengan cerdasnya mampu merangkum jilid-jilid awal manga sedemikian rupa sehingga terbentuk belasan menit di movienya yang bisa dinikmati oleh penonton yang tidak/belum membaca serialisasi maupun yang sudah. Setengah jam pertama kita diajak melihat masa lalu hubungan Shouya-Shoko dengan cara seperti melihat lembaran-lembaran foto. Walau sudah dirangkum seepik rupa mereka tetap tak mugkin luput dari kecacatan. Buruknya lagi bagi yang membaca serialisasinya pasti tahu dan jujur saja aku merasa gregeta ketika mereka harus mengorbankan scene-scene yang kena banget di hati, misalnya saja saat Shoko marah ke Yuzuru Nishimiya, adiknya.
Aku awalnya juga cukup kecewa dengan pengisian Saori Hayami sebagai Shoko. Harusnya ia bisa bermain lebih buruk lagi tpai di awal-awal ia bersuara tidak seperti orang tuli, malah suaranya cute. Ku teringat guyonan temanku,"Untuk apa pakai Hayamin, hanya buang-buang uang saja (untuk mengisi tokoh tidak bersuara)" tapi ketika menonton ternyata Shoko cukup aktif bersuara toh. Kedua, yang aku sempat kecewakan juga adalah Naoka Ueno yang cantik malah digambar terlalu cute, bahkan semua tokoh perempuan digambar menjadi cute.
Rencana Bunuh Diri
Di manga-nya kita akan diberi suguhan untuk mendapatkan cerita masing-masing per tokoh. Tapi cerita ini juga hanya cerita sampingan (yang cukup) singkat. Karena sebenarnya di manga-nya terlalu memfokuskan diri pada hubungan Shouya dan Shoko juga permasalahan yang dibuat dan dihadapi oleh Shoya. Di movie-nya ini mereka mengambil langkah tepat dengan mengutamakan motif cerita pada penyesalan terbesar yang dipendam oleh Shouya. Tanpa harus memperdalam kisah tiap tokoh, movie-nya mampu menyampaikan hubungan Shouya dan Shoko dengan epic. Bahkan hatiku lumayan berdebar ketika melihat scene tearjerking di movie ini (ketika di komiknya aku merasa biasa saja saat membacanya).
Movie Koe no Katachi jauh melampaui dari ekspektasiku, aku benar-benar tersentuh ketika menontonnya. Ending-nya juga mengambil langkah berbeda dari manga-nya. Namun ending-nya juga meh dan cukup hampa untuk beberapa orang. Padahal aku suka bagaimana akhirnya Shouya bisa membuka matanya dan bagiku itu sudah cukup. Aku terpuaskan di movie ini sebab harapan terbesarku dikabulkan, yaitu, Shouya berteriak meminta maaf pada Shoko. Selain itu movie-nya lebih mengungguli dibanding serialisasi komik dengan alasan yang sangat jelas: cerita tidak bertele-tele. Ya, dengan ini kukatakan bahwa Koe no Katachi adalah salah satu dari sedikit anime/karya yang jauh lebih baik daripada bentuk orisinilnya sendiri.
Btw kemarin aku lupa menyertakan link interview pembuatan Koe no Katachi, silahkan kamu bisa membacanya disini dan disini.